Yogya,
ingatkah gadis
mungil, panda Cina pemujamu,
yang menolak
panggilan Amoy, sebab kata itu asing di telinganya?!
Ia merengek berlatih
tari Bondan di Kepatihan
Betapa suka ia pada
bunyi gamelan,
pada lenggok penari
di atas kendi,
dengan boneka dan
payung kecil di tangan
Bersepeda mini ia
meniti pembuluh nadimu dari ujung ke ujung
Tugu hingga
alun-alun utara, Kraton Kasultanan, jantung Yogyakarta
Di Pasar Beringharjo
ia selalu mampir
minum jamu kunir
asem dan beras kencur,
atau membeli nasi
gudangan dan tempe bacem
Jika letih ia beristirahat
di halaman Seni Sono,
mengatur napas,
merenda impian :
“Kelak aku manggung di sini,
memerankan Shinta Obong!”
Dengan
kawan-kawannya berkulit sawo matang,
ia berkayuh ke Goa
Selarong
Bersembunyi di balik
batu-batu sambil makan jambu,
serasa ikut menyusun
siasat gerilya, perang Diponegoro
Betapa ia mengagumi
kuda Sang Pangeran,
yang tak henti
berderap dalam angannya
Suatu saat, ingin
juga ia menunggang kuda,
bersama teman-teman
memerangi angkara,
sambil
melambai-lambaikan pita bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”
Yogya, tidakkah kauingat….
akulah gadis itu,
yang meninggalkanmu di belakang kereta
Mestinya wajah ini
mengabur dari pandangmu,
sebab debu kota
besar melusuhkannya
Rencana masa kanak
bersamamu terampas
Tak ada lagi si mata
sipit berkulit terang,
menari Bondan dengan
gerak gemulai,
atau Dewi Shinta
yang bertaruh setia di dapur api
Tak ada lagi
Diponegoro dengan kuda dan tali pelecutnya,
atau tembang
anak-anak di atas sepeda,
yang sekalipun kulit
dan darah berbeda,
mereka nyanyikan
lagu yang sama dengan satu nada
Tak ada lagi!
Sebab kota besar
menyodorkan impian lain :
Mimpi-mimpi maya yang tak
terjangkau,
oleh
paham sederhana manusia Yogya
Aku kangen padamu,
Yogya!
Terimalah aku
kembali
sebagai anak hilang
yang rindu pulang
Beri tahu
teman-temanku para sawo matang,
aku datang, mengajak
bersepeda hingga rembang petang
Mengayuh dengan
semangat kanak-kanak,
yang tak pernah
mengerti,
mengapa
keriangan hanya mereka yang punya
yang tak pernah
mengerti,
mengapa
perbedaan menjadi persoalan sepanjang masa!
Dhenok
Kristianti, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar