Kamis, 23 April 2015

YOGYA, AKU PULANG!

Yogya,
ingatkah gadis mungil, panda Cina pemujamu,
yang menolak panggilan Amoy, sebab kata itu asing di telinganya?!
Ia merengek berlatih tari Bondan di Kepatihan
Betapa suka ia pada bunyi gamelan,
pada lenggok penari di atas kendi,
dengan boneka dan payung kecil di tangan

Bersepeda mini ia meniti pembuluh nadimu dari ujung ke ujung
Tugu hingga alun-alun utara, Kraton Kasultanan, jantung Yogyakarta
Di Pasar Beringharjo ia selalu mampir
minum jamu kunir asem dan beras kencur,
atau membeli nasi gudangan dan tempe bacem
Jika letih ia beristirahat di halaman Seni Sono,
mengatur napas, merenda impian :
            “Kelak aku manggung di sini, memerankan Shinta Obong!”

Dengan kawan-kawannya berkulit sawo matang,
ia berkayuh ke Goa Selarong
Bersembunyi di balik batu-batu sambil makan jambu,
serasa ikut menyusun siasat gerilya, perang Diponegoro
Betapa ia mengagumi kuda Sang Pangeran,
yang tak henti berderap dalam angannya
Suatu saat, ingin juga ia menunggang kuda,
bersama teman-teman memerangi angkara,
sambil melambai-lambaikan pita bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”     

Yogya, tidakkah kauingat….
akulah gadis itu, yang meninggalkanmu di belakang kereta
Mestinya wajah ini mengabur dari pandangmu,
sebab debu kota besar melusuhkannya
Rencana masa kanak bersamamu terampas
Tak ada lagi si mata sipit berkulit terang,
menari Bondan dengan gerak gemulai,
atau Dewi Shinta yang bertaruh setia di dapur api
Tak ada lagi Diponegoro dengan kuda dan tali pelecutnya,
atau tembang anak-anak di atas sepeda,
yang sekalipun kulit dan darah berbeda,
mereka nyanyikan lagu yang sama dengan satu nada  
Tak ada lagi!
Sebab kota besar menyodorkan impian lain :
            Mimpi-mimpi maya yang tak terjangkau,
oleh paham sederhana manusia Yogya
           
Aku kangen padamu, Yogya!
Terimalah aku kembali
sebagai anak hilang yang rindu pulang
Beri tahu teman-temanku para sawo matang,
aku datang, mengajak bersepeda hingga rembang petang
Mengayuh dengan semangat kanak-kanak,
yang tak pernah mengerti,
mengapa keriangan hanya mereka yang punya
yang tak pernah mengerti,
mengapa perbedaan menjadi persoalan sepanjang masa!


Dhenok Kristianti, 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar