Minggu, 25 Mei 2014

DARI KUMPULAN PUISI "2 DI BATAS CAKRAWALA"



IA SEORANG WANITA


Wanita yang tercipta
mengapa tunduk dalam duka,
bergumam sambil meneteskan air mata?!

Ia tahu dari tulang rusuk asalnya
dekat jantung dan hati untuk dicinta
tapi mengapa berabad hanya aniaya?

Ingin ia percaya kabar yang dilantunkan angin :
            Telah terangkat pintu berkarat yang menyekat
            terburai sudah kungkungan adat yang menjerat
            Tegaklah wanita, menarilah penuh martabat!

Aduhai!
Manakah gerbang yang sudah dibuka, atau ia buta?
Benarkah belenggu tak lagi mengikat, atau cuma sebuah harap?
            Racun tak henti menetes dari lidah lelaki yang menikahinya
            dicekokkan ke mulutnya, merusak ulu hati, mengacaukan denyut nadi
            dan godam yang dipukulkan, meremukkan tubuh dan harkatnya
Dalam diam ia reguk nestapa demi nestapa,
Sebab mengadu adalah aib adalah celaka

Wanita yang tercipta
Wajahnya pucat bagai bulan hilang warna
perlahan ia bangkit, ingin bersatu dengan cakrawala
tapi kakinya goyah, tak mampu ia melangkah!



                                                                   Dhenok Kristianti, 2011

 


DI SERAMBI

Di serambi ini mari bicara
Hangatkan hati dinginkan kepala
Mari telusur silsilah leluhur,
agar tak saling tuding berburuk sangka
Walau lahir dari rahim berbeda,
bukankah kita satu bapa?

Tak perlu alergi pada perbedaan
Tiap suku ada istimewanya,
tiap keyakinan ada keindahannya,
tiap manusia, hanya Dia pencipta-Nya!
Kau sakiti seterumu, sakit pula hati-Nya
Kau remukkan kepala lawanmu, bersiaplah menghadapi-Nya

Mari bicara di serambi ini,
sebab di sini tak ada sekat-sekat
Keikhlasan menerima, bukti kita saudara
Hormat dan cinta tertuju pada sang bapa! 



                                                                           Dhenok Kristianti, 2011


AKU MAU JADI GARAM

Aku mau jadi garam yang larut dalam tiap masakan
Memberi rasa sedap bagi siapa saja yang mencecap
Garam tak peduli ujud kristalnya sirna,
ia hanya ingin memberi tanpa meminta

Aku mau jadi garam yang mengawetkan ikan-ikan
agar tidak cepat rusak di tempat penyimpanan
Bisakah aku seperti garam yang mencegah kehancuran?

Aku mau jadi garam,
yang tak pernah bertanya masakan apa yang harus diasinkan
Aku mau jadi garam,
yang tak memilih untuk mengawetkan apa atau siapa

Sungguh, aku mau jadi garam
karena garam mengerti untuk apa ia dicipta


                                      
                                                        Dhenok Kristianti, 2011

SAJAK KEMBANG MELATI

Kutitip harum pada udara pagi
biar merasuk ia hingga ke sumsum tulang-tulangmu
Ketenangan yang kualirkan
barangkali kau perlu untuk menang atas pergumulan
hingga ringan kau tapaki perjalanan hari
kuat bahumu menahan beban yang tergariskan

Kubiarkan Cinta merampasku dari genggam sang tangkai
sebab kudengar ia kan sematkan di dadamu
agar kau lihat betapa putihnya aku
Sekalipun hidup terhimpit semak belukar,
terpercik lumpur tertimpuk sampah
tapi aku kembang melati, berjuang putihku abadi!



                                        Dhenok Kristianti, 2011

TUNGGU, SEBENTAR LAGI!

Jam berapakah ini menurut waktumu?
Dalam hitunganku semestinya malam belum lagi tiba
tapi gelap merebak di penjuru kota
Kau tahu, sedang kusiapkan bekal untuk berangkat
tapi tanpa cahayamu mana bisa aku melihat?

Ingin kubawa wajahku, tapi hanya kutemukan sebentuk topeng!
Ingin kubawa hatiku, tapi hanya sebongkah batu!
Ingin kubawa hasil tanganku, tapi keranjang ini masih hampa!

Mestikah aku berangkat juga karena lonceng bergema dua belas kali?
Tapi tanpa bekal aku jadi kecut, aku jadi sangsi

Tunggulah sebentar,
kucari dulu yang memang wajahku
Tunggulah sebentar,
sampai kujelmakan cinta di keras hatiku  
Tunggulah sebentar,
biar kupotong tanganku dan kuberikan pada tetangga sebelah
kudengar anaknya hampir mati karena bapa-ibunya menyuapi dengan sampah
Tunggulah sebentar!

(Hei, masihkah kau sabar?)


                                                     Dhenok Kristianti, 2011

DALAM RIMBA RAYA

Ada yang menempamu jadi besi
Itulah tantangan rimba yang berhasil kau kuasai
Ketika kata ‘menyerah’ kau hapus dari kamusmu
dan kau melangkah tegap menembus rimba raya
bermalam di tenda-tenda dengan api unggun tetap membara
percik apinya menjagamu dari serbuan ular, harimau, singa serta serigala

Sungguh bijak ketika kau pilih Ia sebagai pandu arah mata anginmu
Di rimba ini seringkali mentari tidur dan kompas kehilangan jarum
Bisa jadi kau tak tahu lagi mana utara mana selatan
Jalan berliku, bersimpang-simpang, dapat menyeretmu tersesat di pusaran!

Jangan berhenti melangkah!
Berjuang bersama-Nya, itulah keindahan belantara
maka pegang, ikuti ke mana kau dibawa
Setiap sulur yang membelit, setiap kubangan rawa, setiap ancaman binatang buas,
adalah dapur penempaan dalam rimba perjalananmu
Sungguh, Ia kan membantumu menang atas semua,
hingga kau muncul sebagai besi yang tak mudah dibengkokkan!



                                                                                                                 Dhenok Kristianti, 2011

ALANGKAH MUDAHNYA

Pagi tadi Tuhan mengacungkan ibu jari kepadaku
karena aku bangun pagi
menyiapkan kopi untuk suamiku
dan sarapan untuk anak-anakku
            Alangkah mudah membuat hati Tuhan senang!

Jam delapan, Tuhan tersenyum padaku
karena kubawakan tas kerja suamiku
dan kuantar ia hingga pintu gerbang
Ketika kucium tangannya
dan ia cium dua keping pipiku,
senyum Tuhan semakin lebar dan mata-Nya semakin berbinar
            Alangkah mudah membuat Tuhan bangga!

Jam sepuluh, Tuhan menitikkan air mata haru
karena kumatikan televisi
dan di kamar aku berdoa untuk suami dan anak-anakku
“Lindungilah mereka dari yang jahat!”
            Alangkah mudah membuat Tuhan mengabulkan permohonan!

Sore hari, kudengar seruan “Wow!” dari bibir Tuhan
karena kutanggalkan daster tuaku
untuk menyambut suamiku pulang
Kupakai setelan longgar warna jingga berbunga kecil
dan kupakai parfum segar
sekuntum melati kusematkan di antara gerai rambutku
            Alangkah mudah membuat Tuhan memujiku!

Malam hari, Tuhan mengangguk-anggukkan kepala-Nya kepadaku
karena kulayani suamiku di meja makan
karena kupasang telingaku mendengar keluhannya tentang pekerjaan
Kuhibur dan kupuji suamiku
agar kembali bangkit semangatnya
agar kuat ia menjadi kepala
Aku pun pergi kepada anak-anakku
menemani mereka belajar
menyajikan susu hangat dan selembar roti keju
agar ada cinta dalam kegigihan mereka menata masa depan
            Alangkah mudah membuat Tuhan berpihak kepadaku!

Jam sepuluh malam, saat suamiku menggosok gigi,
tiba-tiba Tuhan menepuk pundakku
Ia ulurkan setangkai mawar putih, hadiah untukku
“Kamu lelah?” tanya-Nya
“Saya bahagia,” jawabku
Tuhan merengkuhku dalam pelukan-Nya
angin semilir dihembuskan-Nya di telingaku
Ia berjanji akan menyuruh suamiku
untuk lebih mencintaiku
Alangkah mudahnya Tuhan menurunkan surga di dunia!
Alangkah mudahnya!



Dhenok Kristianti, 2011

PELAJARAN (Di hari kelulusan murid-muridku)

Pelajaran ini bukan untukmu,
sebab kau telah lulus ujian
Memang bukan matematika,
tapi kau hitung langkah dengan cermat
Tak kau langgar palang-palang pintu gerbang
walau ingin cepat tiba di tujuan

(Pokok bahasan ini untukku sendiri, gurumu!)

Bukan pelajaran bahasa,
tapi kau tahu bagaimana bertutur kata
Lidah memang harus dijaga
Ia api, menghanguskan jika berkobar tanpa kendali
Ia pisau, membunuh jika ditancapkan ke ulu hati

(Kau telah lulus, aku masih di medan pertarungan, gurumu ini!)

Bukan ujian agama,
tapi telah kau lakukan titah-Nya
Buluh yang terkulai kembali kau tegakkan,
sumbu yang pudar nyalanya tidak kau padamkan
Segelas susu dari surga kauulurkan bagi yang memberimu air tuba

(Sungguh, aku harus belajar darimu, aku yang adalah gurumu!)


Dhenok Kristianti, 2010

NASIHAT-NASIHAT (Untuk 3 Pandega)

Kubelikan motor ini untukmu, Nak
supaya cepat kau tiba di jamuan pesta
Pastikan SIM dan STNK di dompetmu
juga peta pemandu jangan lupa kau bawa
Bukankah belum kau kenal liku-liku kota?

Jika persimpangan jalan membuatmu ragu,
berhentilah dulu, bertanyalah pada pemandumu
Arah yang ditunjuknya tak pernah salah,
belok kiri, belok kanan, lurus saja atau putar arah
Taatlah, jangan membantah!

Dengar, Nak
aku ingin kau selamat
Periksa rem sebelum berangkat, gunakan dengan tepat
Rambu lalu lintas jangan kau langgar meski polisi sedang tak melihat
Kuasai kemudi, jangan kau dikuasainya
sebab ia tak punya mata, kaulah yang punya
jangan ia membawamu ke lumpur atau lubang tak terduga
kau harus arahkan di jalan-jalan yang seharusnya

Berangkatlah,
nikmati kemenanganmu di jamuan pesta!


                                                                                        Dhenok Kristianti, 2010

BALI DALAM ETALASE

Yes, Sir!
Kami jual Bali, pulau kebanggaan negeri
Kami jual semua, hingga pelosoknya, tanpa sisa
Lihatlah seni tradisi kami, harta tiada banding :
            Dalam lukisan, para leluhur bersemedi
            Dalam pahatan dan ukiran, dewa-dewi menari
            Dalam asap dupa, Dia yang Maha, kekal bertahta
            Dalam puja bakti, air dan bunga membasuh jiwa

Tunjukkan dollarmu, pasti Sir tak kan rugi
kami tukar dengan kekayaan pertiwi
Ketenangan, kedamaian, juga keteduhan, ada di sini
Atau Sir lebih suka tanah-tanah kami,
juga segenap industri?
aha... belilah sekarang, kami jual seluruhnya!
Jangan tawar lagi, ini sudah harga obral
Kalau pandai bersiasat, dollar berlipat dalam sekejap

Yes, Sir!
Silakan ubah wajah Bali, sesuka hati
Tari mistis pun dapat diakali
Boyong tarian dari pura, buang sakralnya
Di mana saja Bali bisa menari
            cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak
            cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak
Senyum dan kerling penari tak lagi bagi para dewa
Tetabuhan dan gamelan tak lagi mengetuk nirwana
Lenggak-lenggok mereka, gamelan yang membahana
tertuju pada ribuan dollar yang terbang dalam mimpi-mimpi

Kami jual Bali, Sir demi zaman ini
Anggur merah dan lazat dunia ingin kami cicipi
Belilah Bali, kan kami beli segala yang Sir bawa
Hidup berasap, lupa diri hingga malam renta,
jarum suntik, dan seribu kekenesan dunia
betapa ingin kami jelajahi, betapa ingin kami jadi bagiannya

(Di puncak meru Maha Dewa memalingkan wajah
Titik-titik air mengkristal di sudut mata-Nya
Ia tak mampu bayangkan
singgasana dan mahkota bukan lagi milik-Nya!)
        


                                                             Dhenok Kristianti, 2010

BALI DALAM LUKISAN

Tahun 1987 kulukis Bali di kanvas ini
Saat itu gerimis berlinang di pelupuk mata
”Good bye, my paradise! I will miss you!”
Bali lambaikan tangan, aku menelan kepedihan
Perpisahan itu sungguh tak terelakkan

Aku mengembara
Lukisan Bali kekal terpampang di dada
Biar warna semakin kusam, biar kanvas kian tua,
tapi dalam piguraku tak juga sirna :
sawah bersusun-susun,
ombak mendesau-desau,
samudera raya tak henti menggelora

Kurindukan juga :
meru perkasa, menembus cakrawala
Wangi bunga, aroma dupa, membubung ke angkasa
Puja-puji dan lenggok penari,
semua sesembahan bagi Hyang Wisesa!

Tahun 2008 peluk cium tanah Bali
Aku kembali!
Tari Panyembrama songsong si anak pulang
Tari kecak usik kebalianku

cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak
cak-cak-cak-cak-cak-cak-cak


Aku terpana!
Ini tari tak lagi berjiwa, siapa mencurinya?
Kerling senyum penari tebar kepalsuan
dan paduan kecak tak lagi satu nada
Siapa itu bersuara sumbang?

Hendak kurobek jubah, malam ini juga
Biar kutidur dalam debu, biar abu jadi selimutku
tak kuikhlaskan akarmu tercerabut
tak kusuka rias dan kenesmu kini!

Mestikah kulukis ulang wajah Baliku?
Tapi kuas telah hilang daya
walau pada Bali cintaku sejati
pada Bali cintaku abadi!


                                                                       Dhenok Kristianti, 2010