Nyaris usai
permainan catur
Pias wajah raja
hitam, nafasnya terengah
Jubah yang menyentuh
tanah menghalangi langkah,
mahkota susun tiga memberat
di kepala
Tergempur dua
benteng,
terkapar dua
kuda :
satu dengan trisula tertancap di
dahi,
satu dengan anak panah menyudahi aliran
nadi
Selangkah ke kiri, raja
meringkuk di punggung menteri
Astaga! Peluncur
terakhir dalam bahaya,
sementara pion-pion ditumbalkan
pada awal
percaturan
Aroma panik
mengental di arena adu,
menjalar di antara
kengerian raja pada tampuk yang mesti ditinggalkan,
dan
kerisauan menteri yang bakal kehilangan gelar pahlawan
Kenapa menyerah
selalu berarti kalah?
Kenapa kalah berarti
aib yang tak kunjung punah?
Kepongahan tanpa
batas, tak pantas dibayar regangan nyawa,
lebih
lagi pion-pion dan para perwira,
sesungguhnya membenci angkara di
medan laga
dan anak istri, tak sepenuhnya rela
melepas perginya
Permainan catur
benar-benar usai
Menteri yang perkasa
terjegal di langkah terakhir
Raja terbunuh,
kengerian berikutnya menyergap di ujung ajal :
Arwah sekian pion sekian perwira,
menanti dengan tanya yang tak ingin
dijawabnya :
“Mengapa dalam permainan
catur,
hanya nyawa Paduka yang punya
harga?”
Dhenok
Kristianti, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar