Kopi di cangkir
tinggal endapan
Tak ada lagi bayang wajahku
di sana,
namun seluruh
tapak-tapak perjalanan
terekam dalam buku
keabadian
Aku tercabik!
Penyesalan dan rasa
malu menggelepar,
sementara seribu
tangan gaib mencengkeram,
memaksaku kembali
menengok ke belakang
Mestikah gurat pena
yang telanjur tertulis
diziarahi dari waktu
ke waktu?
Hanya kesakitan yang
menggelisahkan terjumpa,
sebab pernah menapak
di jalan yang salah,
sebab bayang
kegagalan tak henti mencibir,
sebab menggiurkan buah
yang dipetik Hawa,
yang
disodorkannya pada Adam,
lalu
kurampas di musim kerontang
Kesadaran ini
barangkali terlambat :
Bernapas bersama kafan
tua, sejatinya kematian
Menyerah tanpa
perlawanan, tanpa kegairahan,
adalah hidup yang
tak punya kehidupan
Apa yang indah dari
seonggok mayat,
jika jantung masih
berdebur, nafas masih berembus?
Kini hendak
kusiapkan upacara pengabenan
agar sirna batu-batu
nisan, juga tugu peringatan
hingga aku tak usah
lagi bertandang ke kubur sendiri
Cabikan kenangan yang
membusuk,
mesti sirna dalam sucinya
tungku api,
agar aromanya tak
lagi membuntuti!
Dhenok
Kristianti, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar