Kamis, 23 April 2015

PADA MULANYA DAN PADA AKHIRNYA

Lorong panjang kesenyapan, awal tiada menjadi ada
Sepercik debu, berenang merindukan daratan
Siapa menjaganya dari gempuran ombak yang memecah batu karang?
Cinta yang melampaui batas, dalam kesendirian yang sunyi,
melukis wajah yang bakal dirindukan-Nya
menulis akta perjanjian, bersegel kucuran darah dari jantung-Nya

“Menyusurlah hingga gerbang lorong
Dari sana berangkatlah, lalu berangkat lagi dan lagi,
mencecap aneka rasa, warna, dan cuaca
Pilihlah yang indah bagi batinmu, bukan pancainderamu
Aku ada sebagaimana ada-Ku,
menjadi asal muasal segala yang ada,
menjadi akhir segala yang ada harus bermuara.”

Maka mengembara si debu dalam petualangan tanpa peta
Disinggahinya kota-kota, terminal dan stasiun, bandara dan pelabuhan
Ia berkemah di gurun-gurun yang menerbangkan pasir
Ia bermalam di rumah-rumah persinggahan:
            melahap semua yang bisa dimakan,
            menginjak semua yang bisa dilindas,
            melibas semua yang bisa digasak,
            mengusir semua yang bisa dihalau

Siapa dulu melukis wajahnya, sungguh ia tak ingat
Akta perjanjian bersegel darah, apa pedulinya
Sebelum awal menjadi akhir, kebeningan batin hanya penjara
Maka bergulir-gulir ia terbawa angin,
hingga akhirnya tiba di muara
            Tapi akta perjanjian itu... di mana hilangnya?


Dhenok Kristianti, 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar