Lorong panjang
kesenyapan, awal tiada menjadi ada
Sepercik debu,
berenang merindukan daratan
Siapa menjaganya
dari gempuran ombak yang memecah batu karang?
Cinta yang melampaui
batas, dalam kesendirian yang sunyi,
melukis wajah yang
bakal dirindukan-Nya
menulis akta
perjanjian, bersegel kucuran darah dari jantung-Nya
“Menyusurlah
hingga gerbang lorong
Dari
sana berangkatlah, lalu berangkat lagi dan lagi,
mencecap
aneka rasa, warna, dan cuaca
Pilihlah
yang indah bagi batinmu, bukan pancainderamu
Aku
ada sebagaimana ada-Ku,
menjadi
asal muasal segala yang ada,
menjadi
akhir segala yang ada harus bermuara.”
Maka mengembara si
debu dalam petualangan tanpa peta
Disinggahinya kota-kota,
terminal dan stasiun, bandara dan pelabuhan
Ia berkemah di
gurun-gurun yang menerbangkan pasir
Ia bermalam di
rumah-rumah persinggahan:
melahap semua yang bisa dimakan,
menginjak semua yang bisa dilindas,
melibas semua yang bisa digasak,
mengusir semua yang bisa dihalau
Siapa dulu melukis
wajahnya, sungguh ia tak ingat
Akta perjanjian
bersegel darah, apa pedulinya
Sebelum awal menjadi
akhir, kebeningan batin hanya penjara
Maka bergulir-gulir
ia terbawa angin,
hingga akhirnya tiba
di muara
Tapi akta perjanjian itu... di mana
hilangnya?
Dhenok
Kristianti, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar