Malam telah menepi
di tubir ini
Napas-napas tua yang
ngilu dan sesak,
merambat lambat
dalam detik-detik tersisa
Bola mata yang kuyu
dan semakin redup,
sebentar lagi
mengatup ditinggal cahya hidup
Tulang-tulang mengering
bergemeretak,
puluhan tahun ikhlas
jadi tiang topangan,
diayunkan dalam
kerja tanpa pilihan
Merekalah sumber
nafas, pemicu degup jantung
Cinta dari dada
selalu mengalir,
bercampur peluh
tanpa keluh,
mandi air mata tanpa
putus asa
Daya hidup yang
dibangkitkan dalam diam,
adalah wujud
pengabdian mahasempurna!
Kini di sudut ini
aku bertanya :
Ke manakah buah-buah pohon delima?
Mengapa tak satu jua tersaji untuk
mereka?
Biar disesap di lidah yang tak letih
mendoa
Ingin kudengar mereka terbata
berkata,
“Lihat, inilah hasil panen rayaku!”
Sayang, napas mereka
yang terpenggal-penggal,
tak mau mengiba
meski atas nama cinta
Dan sesaat sebelum
epitaf terakhir usai dipahat,
Tanda peringatan
dimunculkan :
“Penyesalan adalah tangis tanpa
muara!”
Dhenok Kristianti, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar