Kamis, 23 April 2015

SEBELUM EPITAF TERAKHIR

Malam telah menepi di tubir ini
Napas-napas tua yang ngilu dan sesak,
merambat lambat dalam detik-detik tersisa
Bola mata yang kuyu dan semakin redup,
sebentar lagi mengatup ditinggal cahya hidup
Tulang-tulang mengering bergemeretak,
puluhan tahun ikhlas jadi tiang topangan,
diayunkan dalam kerja tanpa pilihan
Merekalah sumber nafas, pemicu degup jantung
Cinta dari dada selalu mengalir,
bercampur peluh tanpa keluh,
mandi air mata tanpa putus asa
Daya hidup yang dibangkitkan dalam diam,
adalah wujud pengabdian mahasempurna!

Kini di sudut ini aku bertanya :
            Ke manakah buah-buah pohon delima?
            Mengapa tak satu jua tersaji untuk mereka?
            Biar disesap di lidah yang tak letih mendoa
            Ingin kudengar mereka terbata berkata,
            “Lihat, inilah hasil panen rayaku!”

Sayang, napas mereka yang terpenggal-penggal,
tak mau mengiba meski atas nama cinta
Dan sesaat sebelum epitaf terakhir usai dipahat,
Tanda peringatan dimunculkan :
            “Penyesalan adalah tangis tanpa muara!”


Dhenok Kristianti, 2011  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar